Saya bukan tipe cewe yang suka dibantu kalau memang hal yang saya ingin lakukan bisa saya kerjakan sendiri. Saya akan berusaha semampu saya untuk mengerjakan sendiri walaupun sebenarnya akan membutuhkan lebih banyak waktu. Entah memang sudah sifat atau ada penyebab lainnya, kalau minta tolong ke orang lain suka pikir masak-masak. Karena sifat saya yang aneh ini, jadinya suka merasa aneh sendiri kalau ada yang bantu tanpa saya minta. Sepertinya ini berlaku untuk semua aspek dalam kehidupan saya. Maaf, diawali dengan curcol nih.
Nah pas traveling ke empat negara, sifat ini juga masih lengket selengket ulat bulu dipucuk daun hehehe... jadi ketika dibeberapa negara, pelayan maupun bellboy itu ada dan melaksanakan tugasnya dengan baik, rasanya agak-agak gimana gitu. However, Malasyia dan Singapore are the exceptions. Dikarenakan kami nginap dihotel bintang 2 atau 3 yah, pokoknya 2 or 3, jadinya kami self-service untuk urusan gotong bawaan dari dan ke kamar hotel. Memasuki lobi hotel, yang kami lihat hanyalah 2 orang resepsionis. It’s not that I was complaining though. Cuma mau cerita-cerita pengalaman saja. Turun dari airport shuttle atau taksi, kami membawa bawaan kami dengan susah payah ke meja resepsionis untuk check in dan masih harus membawa sendiri bawaan kami sampai kekamar dilantai 5 (Kuala Lumpur) dan lantai 2 (Singapore). Untung bin lucky, lift didua hotel berfungsi dengan baik, otherwise tidak terbayangkan bagaimana capeknya.
Anehnya, di India maupun Vietnam, bellboynya ada, padahal dua hotel tempat kami menginap tersebut juga berbintang setara atau bahkan dibawah dari 2 hotel yang kami jadikan tempat menginap di KL dan singapore. Di Ho Chi Minh city misalnya, dapat bellboy yang kurus secara fisik tapi begitu tanggap dan cepat kalau kami butuh bantuan. Pertama kali tiba depan hotel, begitu kami turun dari taksi dan celingak celinguk berusaha memastikan apakah hotel yang kami datangi betul sesuai dengan alamat dibukti booking hotel atau kami kesasar, dengan tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang kira-kira berumur 27-32 tahun (kalo bisa seperti Temperance Brennan di serial Bones, dah pasti tahu umur sebenarnya si bapak ini) dari pintu sebuah bangunan kecil, dan dengan gerakan cepat si bellboy (waduh lupa nanya nama si bellboy nih) datang dan langsung angkat 2 koper kami yang gede-gede itu. Untungnya, isi koper masih minim isinya karena Vietnam adalah negara tujuan pertama, jadi tidak terlalu kasihan lihat si bapak bellboy kurus itu. Lagi sibuk menghitung uang buat bayar taksi, eh si bapak dah main angkat saja. Bahasa Inggris si bapak juga ternyata lumayan. Yang lucunya, ketika si bellboy sampai didepan meja resepsionis dengan membawa koper-koper kami tadi, dia buru-buru seperti setengah berlari menuju belakang meja dan menanyakan bukti booking kamar. Ternyata dia juga merangkap resepsionis. Selama 4 malam di Ho Chi Minh City, hanya 2 kali si bapak kurus nan sigap ini bertugas jadi bellboy, resepsionis dan (saya hanya menduga sih) tukang cuci, yaitu disaat kami check-in dan disaat kami check-out dari hotel ini. Bagi saya, si bapak bellboy adalah salah satu alasan utama saya memfavoritkan Ho Chi Minh City sebagai tujuan wisata dibandingkan dengan 3 kota di 3 negara yang ada dalam daftar tujuan jalan-jalan kami.
Lain lagi dengan bellboy di New Delhi, India. Ini nih yang saya julukin si hell-boy, ditambah dengan kata “go to” didepannya hehehe....2 hal yang bikin sebal dari bellboy dihotel tempat kami nginap adalah pamrih mereka dan “style” mereka dalam membantu dalam hal apa yang kita mintakan bantuan mereka. Jangan harap bisa nyuruh bellboy tanpa mau keluar duit tip. Mereka akan berlama-lama dikamar dan menatap penuh arti kepada anda (penuh arti dibaca: mengharap anda membuka dompet). Pernah juga satu waktu, sepertinya dimalam kedua kami nginap dihotel itu, teman saya minta tolong kepada salah satu bellboy untuk dibelikan kartu perdana lokal sekaligus diisikan pulsa sebesar 500 rupee supaya bisa menelpon kerumah. Tentu saja teman saya ini sudah menyiapkan duit 100 rupee (sekitar 18.000 rupiah) sebagai tip karena sudah mengetahui “adat istiadat” dalam menyuruh bellboy, apalagi di New Delhi ini. Simcard sudah ditangan, uang tip sudah diberikan. Simcard yang dibelikan sudah dalam kondisi mencurigakan (ada bekas-bekas kalau simcard pernah dipakai) eh pulsanya malah cuma 380 rupee. Ketipu lagi. Kecurigaan bahwa simcard itu bekas pakai makin kuat setelah beberapa kali teman saya mendapatkan telpon dari nomor lokal yang tidak dikenal. Siapa yang tidak mau maki-maki (walau cuma bisa dalam hati, LOL) kalau begini tingkah mereka.
Dan tidak sampai disitu saja. Dari beberapa blog traveling yang saya baca sebelum berangkat, Saya sudah aware kalau dibeberapa hotel di New Delhi, bellboy nya rada-rada aneh. Disalah satu or salah dua blog ditulis kalau pelayan dibeberapa hotel kadang tanpa permisi langsung masuk ke dalam kamar ketika mereka membutuhkan sesuatu (ngambil piring kotor misalnya) atau tamu yang membutuhkan bantuan mereka. Walaupun tamu hotel membukakan pintu dan berencana untuk berbicara didepan pintu saja, seringnya mereka masuk tanpa ba-bi-bu. Ini juga terjadi pada kami selama tinggal disalah satu hotel di New Delhi. Kami masih memaklumi ketika bellboy yang membantu kami mengangkat koper-koper sampai dikamar setelah check in selesai masuk kekamar dan menunjukkan semua fasilitas yang ada dikamar berikut cara menggunakannya (kali saja tamunya dari gunung kan ,LOL). Tapi ketika semua orang dengan segala macam profesi dihotel ini masuk tanpa permisi, hufftt, benar-benar mau meledak rasanya. Saya yang berjilbab jadi betul-betul ketakutan untuk tidak berjilbab dalam kamar. At the very least, saya mesti menaruh jilbab dalam jangkauan tangan supaya bisa langsung memakainya ketika si bellboy atau pelayan tiba-tiba nyelonong. Pernah sekali waktu, saya mesti berdiam diri dibawah duvet, karena saya tidak menyangka akan ada peristiwa ini lagi, selama kira-kira 6-8 menit saat pelayan yang biasanya membawakan sarapan (kitchen staff kayanya) langsung masuk kekamar padahal teman saya sudah berusaha “menahan” si pelayan dan hanya berbicara didepan pintu kamar. Untungnya saat itu sepertinya India lagi musim dingin, jadi berdiam diri dibawah duvet sebegitu lama tidak terlalu bikin makan hati dan bermandi keringat. Mereka kurang mengerti dengan private space, adat istiadat melayani tamu hotel, atau memang sudah “umumnya” begitu dinegeri sana. You better visit and experience it yourselves, if you curious about it. I do not know and will not know the answers, because I am not going to anywhere in India for the second time. Titik.

No comments:
Post a Comment