Negara tujuan pertama dalam liburan sebenarnya Vietnam, however, I dont know why, saya merasa mesti tulis hal-hal soal India dulu. Mungkin karena banyak hal yang tertinggal dalam memori soal India dan orang-orangnya dibanding negara lain yang ada dalam daftar kunjungan (bahasanya dah kaya diplomat kelas teri gini). Jangan mengangguk setuju atau bahagia dulu yah bagi yang begitu suka sama India (termasuk Siska, sohib yang menggeret diriku ke India hehehe). Yang tertinggal dalam memoriku itu justru banyakan hal negatif soalnya. Kalau kelamaan, bisa-bisa hilang semua yang dalam otak nih J. Jadi harus cepat-cepat dishare, supaya berguna buat orang lain (halaah, sok baik).
Untuk warga Indonesia, mulai tahun ini (atau tahun lalu, I’m not sure) VISA ON ARRIVAL bisa didapat dari 2 airport di 2 kota besar, yaitu New Delhi dan Mumbai. Berhubung tujuan utama ke India adalah melihat Taj mahal yang memang lebih mudah dijangkau dari New Delhi, maka paslah rencana kami berdua; masuk India dari New Delhi. Since this would be the very first time we apply for VOA, agak takut-takut gitu. Apakah berbelit-belit dan melibatkan birokrasi yang panjangnya melebihi ular naga panjangnya, apakah nantinya dimintain duit berlebih, pokoknya banyak tanya dalam otak. Kalau punya lebih banyak waktu sih, inginnya apply visa di Indian embassy saja di Jakarta. Eitss, tidak ding, becanda. Lebih malas lagi kalau mesti urus apa-apa di Jakarta, soalnya saya dan teman tinggalnya diluar Jakarta. Lagipula, birokrasi kita kan terkenal juga berbelit-belitnya. Memang sih itu Indian embassy, tapi saya yakin yang kerja disana juga banyak orang Indonesia. Jadi kepesimisan untuk dapat visa India in the right time with the RIGHT PRICE sangat besar hehehe. The final decision was to apply for VOA. Saking takutnya tidak bakal dapat VOA itu (maklumlah belum pernah tau VOA itu bagaimana), saya dah tanya-tanya ke teman jalan, kalau worst come to worst situation kami tidak dapat VOA, kami mesti gimana atau lebih tepatnya mau kemana. Kami akhirnya berkeputusan untuk balik ke Vietnam J (in a case of an emergency) sampai saat untuk ke Singapore berdasarkan jadwal kita, tiba.
Pas check in time tiba, ketakutan kami makin membumbung tinggi (asap kali yak). Petugas check in langsung tanya soal visa. Saat kami jawab kami mau apply VOA, si petugas malah bingung dan tidak yakin kalau Indonesian bisa apply VOA. Dengan bahasa melayu (kami check in di bandara LCCT KL, red) yang notabene kami bisa mengerti sedikit banyak, si petugas bertanya soal VOA India buat warga Indonesia ke petugas dicounter sebelah. FYI sodara-sodara, jauh sebelum giliran kami check in tiba, si petugas (cewe) sama petugas counter sebelah (cowo) itu, lagi asoy geboy flirting-flirting tidak jelas hehehe. Sesekali mereka saling ejek atau bertanya satu sama lain dibarengi muka yang bersemu-semu merah ungu biru tidak jelas hahaha...loh kok malah ngegosip sih *gelenggelengkepalasupayabalikkecerita*. Yang menjengkelkan lagi, mereka tetap asik sibuk sayang-sayangan dengan kata-kata, PUBLICLY!!!!, saat kami belum jelas nasibnya gimana (lebaynya J emangnya TKI hehehe). Alhamdulillah beberapa saat kemudian, si petugas memberitahukan kalau ternyata Indonesian bisa langsung apply VOA saja dengan beberapa syarat, yang diantaranya: memperlihatkan uang at least US$100 untuk biaya hidup selama di India, fotokopi booking kamar dihotel, fotokopi tiket keluar dari India dan mengisi form VOA. Entah kenapa, flight KL-New Delhi ini proses check in nya makan waktu a lot longer than other destinations (hasil pengamatan beberapa counter check in disekitar). Kemungkinan paling besar adalah karena banyak calon penumpang yang kelebihan bagasi dan mesti urus ini itu, negosiasi dan lain lain. Saat kami check in saja, at least ada 8 penumpang yang bawa TV baru dengan ukuran yang jumbo. Mereka beli flat screen TV di KL trus bawa ke New Delhi? Memangnya jauh beda yah harganya, mungkin iya, apalagi alasan lainnya coba (begonya....bertanya terus jawab sendiri xixixi). Setelah fotokopi ini itu diserahkan yang kemudian diikuti dengan wanti-wanti dari si petugas yang lagi GATAL, akhirnya kami bisa check in.
Penerbangan KL-New Delhi makan waktu kira-kira 5,5 jam. Jauh juga ternyata, saya kira 3 jam pasti dah sampai. Maklumlah agak buta-buta dengan peta dan geografi, apalagi kalo lihat peta buta, halaah, malah tidak jelas gini J Saat tiba di bandara Indira gandhi, alhamdulillah proses apply VOA lancar-lancar saja. Petugas imigrasinya cuma 1, dan alhamdulillah kedua karena si bapak secara fisik tidak menakutkan seperti gambaran yang ada diotak saya J, si bapak petugasnya adalah orang tua botak yang ramah tapi sekali-sekali bersarkasme ria J.
Saat yang mendebarkan berikutnya tiba. Kami mesti cari taksi tanpa kena tipu untuk ke hotel. Dari pintu keluar, kelihatan beberapa taksi-taksi “cakep” nangkring. Tapi menurut tips dapat dari internet, taksi-taksi cakep ini biasanya tidak memakai argometer, jadi mesti nawar ke sopir, kalopun ada yang pakai argometernya, biasanya dah “diset” duluan, jadi ongkos yang kita bayar bakal berkali-kali lipat dibanding dengan ongkos sebenarnya. Daripada kehilangan duit banyak buat naikin yang “cakep”, kami memilih untuk mencari taksi prepaid yang dikelola oleh kepolisian setempat. Lumayan kecewa pas liat bagaimana sih bentuk mobil taksi prepaid ini, mirip mobil-mobil difilm bollywood jadulJ but anyhey tidak apa-apa deh, asal tidak jalan kaki. Ternyata keterpanaan saya soal India dan isinya tidak berujung disitu (tali kali).
Naik taksi yang berada dibawah manajemen polisi mereka, laju taksinya tidak terbayangkan sebelumnya. Serasa lagi syuting film fast and furious dengan banyak perbedaan, pemain dan mobilnya jauh beda hahaha....hmmm, yang mirip kayanya malah cuma kecepatan mobil itu sendiri. Seriously, saya belum pernah naik kendaraan yang kecepatannya entah berapa (tidak ada speedometernya bow), tapi dah berhasil bikin saya jadi ingat wajah bapak dan ibu dirumah. Siska berargumen, gimana si sopir tahu dianya mengemudi dengan kecepatan normal apa tidak, nah speedometer saja tidak ada tuh. Kalo menurut saya sih, memang dia sengaja selaju itu, karena ingin cepat-cepat balik lagi ke bandara dan dapat penumpang lagi. Saya agak maklum sih, si sopir cari duit kan. Tapi pak sopir, sumpah setengah hidup, waktu itu saya jadi ingin teriak ditelingamu, pak slow down a bit, saya belum menikah so I don’t wanna die here and now J.
Banyak tipu-tipu gitu di India, so beware sodara-sodara (ah berasa kaya jualan aja)!!! Mesti rela nambah 1-2 kerutan (bahkan lebih!!!) diwajah karena kelamaan pasang muka jutek nan sadis (dalam hal nawar) ke penjual pada saat nawar-nawar jualan mereka. Kadang tidak tega sih kalau lihat wajah mereka nawarin dagangannya dengan kata-kata manis kalau dagangan mereka lebih murah dibanding tempat lainnya dan kebetulan kami ingin beli karena memang perlu dengan barang yang ditawarkan, tapi suka sebal kalau ingat kalo mereka suka banget pasang harga berkali-kali lipat dari harga normal (seperti kata-kata orang yang pernah ke India di blog mereka). Wajar sih kalau pasang harga 50% diatas harga normal, nah kalo sudah 300%-400% dari harga normal, ini sih bukan jualan, tapi nipu.
Di New Delhi ini, pedagang keliling dan pengemis yang kegigihan dan kesabarannya yang patut saya lemparkan sepatu J saking sebalnya saya sama kelakuan mereka. Saya yang berasal dari kota kecil di timur Indonesia ini shock bin kaget dengan gigihnya pengemis minta duit dikota besar India ini. Bayangkan, mereka bisa berada didepanmu atau mobilmu (kalo naik mobil) itu berpuluh-puluh menit. Kalau lampu merahnya cepat berubah hijau, selamatlah kau ujang J, otherwise, kalo dah bosan dengan wajah atau bau mereka, yah mesti beri duit. Yang menggemaskan lagi, pernah 1x disaat kami singgah buat foto depan Red fort di Agra, kami dikerubuti sekitar 3-4 orang pengemis, yang salah satunya bapak tua. Saya sebenarnya ingin sekali melihat dan foto-foto benteng ini dari dekat, berhubung ternyata orang (pengunjung ataupun orang lokal dengan segala profesi) masih bejibun, keinginan itu langsung sirna bagai ditelan bumi J. Anyway, kembali ke pengemis-pengemis tadi, Siska akhirnya bagi-bagi duit 10 rupee. Duit “kecil” dah habis, eh si bapak pengemis yang belum kebagian. Saya Cuma punya duit pecahan 500, yang kalau ditukar kerupiah jadi sekitar Rp100.000, akhirnya kami bertanya ke sopir. Raju Cuma punya koin 5 rupee, dan siska tidak punya pilihan selain berikan duit 5 rupee itu and guess what...si bapak pengemis tidak mau terima duit dalam bentuk koin. Ckckck, speechless untuk kesekian puluh kalinya hahaha...saya lupa bagaimana pemecahan masalah “bagi-bagi duit” itu akhirnya.
On the way to Agra untuk melihat Taj Mahal, kami masuk diresto yang lumayan (lumayan versi orang lokal sih, well at least menurut Raju, menurutku sama saja dengan resto standar di Indonesia, dari segi pelayanan dan kebersihan), kami melihat adanya pelayanan berbeda antara wisatawan dan yang berseragam sopir (biru muda). Diawal, kami hanya agak bingung, what take him (Raju) so long to come and sit with us. Jangan-jangan Raju parkir mobil di New Delhi nih J Perut dah lumayan kencang dangdutannya masih harus nunggu lagi. Pelayan yang melayani kami tidak mengatakan langsung pada kami padahal dia bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris kepada kami soal ini. Tiba-tiba Raju duduk dan bilang ke kami dia tidak bisa makan semeja bersama kami, karena resto itu punya tempat khusus buat sopir. Di jaman sudah semaju gini, mereka masih memperlakukan orang berbeda berdasarkan jenis pekerjaan atau kasta? Hmmm, cuma bisa speechless (LAGI) hahaha.... tapi tenang sodara-sodara, it was a happy ending (mang film bollywood aja yang bisa ada happy endingnya). Dengan ancaman kalau kami bakal batal makan direstonya kalau mesti berbeda meja dengan Raju, akhirnya si pelayan memperbolehkan Raju makan semeja dengan kami. Entahlah kami dapat kutukan, makian, atau cacian dalam hati si pelayan karena telah melanggar aturan ini, yang jelas saya merasa seperti pahlawan kesiangan buat Raju hahaha.... and that was not it, si pelayan yang dah terima duit dari raju untuk bayar makannya, tanpa perasaan dan berkata apa-apa menerima pembayaran makan kami termasuk untuk bayar makanan Raju. Untung siska dah mencium gelagat yang tidak beres (halah, bahasa apa toh bu, bu J). Akhirnya cross check ke Raju berbuah hasil: si pelayan memang dah dapat bayaran dobel untuk bayaran makanan Raju, dari Siska dan Raju sendiri. Asem, asem, bisa-bisa kerutanku nambah pol kalo lama-lama di India ini J