Sunday, 12 January 2014

2014 diawali dengan.....

yah apalagi kalo bukan happy new year hahaha...
dan seringkali diselipkan dengan pertanyaan kapaan siiih....*tepok jidat plus guling-guling mau nangis*

Thursday, 15 December 2011

Bellboy in Vietnam and (go to) hellboy in India


Saya bukan tipe cewe yang suka dibantu kalau memang hal yang saya ingin lakukan bisa saya kerjakan sendiri. Saya akan berusaha semampu saya untuk mengerjakan sendiri walaupun sebenarnya akan membutuhkan lebih banyak waktu. Entah memang sudah sifat atau ada penyebab lainnya, kalau minta tolong ke orang lain suka pikir masak-masak. Karena sifat saya yang aneh ini, jadinya suka merasa aneh sendiri kalau ada yang bantu tanpa saya minta. Sepertinya ini berlaku untuk semua aspek dalam kehidupan saya. Maaf, diawali dengan curcol nih.

Nah pas traveling ke empat negara, sifat ini juga masih lengket selengket ulat bulu dipucuk daun hehehe... jadi ketika dibeberapa negara, pelayan maupun bellboy itu ada dan melaksanakan tugasnya dengan baik, rasanya agak-agak gimana gitu. However, Malasyia dan Singapore are the exceptions. Dikarenakan kami nginap dihotel bintang 2 atau 3 yah, pokoknya 2 or 3, jadinya kami self-service untuk urusan gotong bawaan dari dan ke kamar hotel. Memasuki lobi hotel, yang kami lihat hanyalah 2 orang resepsionis. It’s not that I was complaining though. Cuma mau cerita-cerita pengalaman saja. Turun dari airport shuttle atau taksi, kami membawa bawaan kami dengan susah payah ke meja resepsionis untuk check in dan masih harus membawa sendiri bawaan kami sampai kekamar dilantai 5 (Kuala Lumpur) dan lantai 2 (Singapore). Untung bin lucky, lift didua hotel berfungsi dengan baik, otherwise tidak terbayangkan bagaimana capeknya.



Anehnya, di India maupun Vietnam, bellboynya ada, padahal dua hotel tempat kami menginap tersebut juga berbintang setara atau bahkan dibawah dari 2 hotel yang kami jadikan tempat menginap di KL dan singapore. Di Ho Chi Minh city misalnya, dapat bellboy yang kurus secara fisik tapi begitu tanggap dan cepat kalau kami butuh bantuan. Pertama kali tiba depan hotel, begitu kami turun dari taksi dan celingak celinguk berusaha memastikan apakah hotel yang kami datangi betul sesuai dengan alamat dibukti booking hotel atau kami kesasar, dengan tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang kira-kira berumur 27-32 tahun (kalo bisa seperti Temperance Brennan di serial Bones, dah pasti tahu umur sebenarnya si bapak ini) dari pintu sebuah bangunan kecil, dan dengan gerakan cepat si bellboy (waduh lupa nanya nama si bellboy nih) datang dan langsung angkat 2 koper kami yang gede-gede itu. Untungnya, isi koper masih minim isinya karena Vietnam adalah negara tujuan pertama, jadi tidak terlalu kasihan lihat si bapak bellboy kurus itu. Lagi sibuk menghitung uang buat bayar taksi, eh si bapak dah main angkat saja. Bahasa Inggris si bapak juga ternyata lumayan. Yang lucunya, ketika si bellboy sampai didepan meja resepsionis dengan membawa koper-koper kami tadi, dia buru-buru seperti setengah berlari menuju belakang meja dan menanyakan bukti booking kamar. Ternyata dia juga merangkap resepsionis. Selama 4 malam di Ho Chi Minh City, hanya 2 kali si bapak kurus nan sigap ini bertugas jadi bellboy, resepsionis dan (saya hanya menduga sih) tukang cuci, yaitu disaat kami check-in dan disaat kami check-out dari hotel ini. Bagi saya, si bapak bellboy adalah salah satu alasan utama saya memfavoritkan Ho Chi Minh City sebagai tujuan wisata dibandingkan dengan 3 kota di 3 negara yang ada dalam daftar tujuan jalan-jalan kami.

Lain lagi dengan bellboy di New Delhi, India. Ini nih yang saya julukin si hell-boy, ditambah dengan kata “go to” didepannya hehehe....2 hal yang bikin sebal dari bellboy dihotel tempat kami nginap adalah pamrih mereka dan “style” mereka dalam membantu dalam hal apa yang kita mintakan bantuan mereka. Jangan harap bisa nyuruh bellboy tanpa mau keluar duit tip. Mereka akan berlama-lama dikamar dan menatap penuh arti kepada anda (penuh arti dibaca: mengharap anda membuka dompet). Pernah juga satu waktu, sepertinya dimalam kedua kami nginap dihotel itu, teman saya minta tolong kepada salah satu bellboy untuk dibelikan kartu perdana lokal sekaligus diisikan pulsa sebesar 500 rupee supaya bisa menelpon kerumah. Tentu saja teman saya ini sudah menyiapkan duit 100 rupee (sekitar 18.000 rupiah) sebagai tip karena sudah mengetahui “adat istiadat” dalam menyuruh bellboy, apalagi di New Delhi ini. Simcard sudah ditangan, uang tip sudah diberikan. Simcard yang dibelikan sudah dalam kondisi mencurigakan (ada bekas-bekas kalau simcard pernah dipakai) eh pulsanya malah cuma 380 rupee. Ketipu lagi. Kecurigaan bahwa simcard itu bekas pakai makin kuat setelah beberapa kali teman saya mendapatkan telpon dari nomor lokal yang tidak dikenal. Siapa yang tidak mau maki-maki (walau cuma bisa dalam hati, LOL) kalau begini tingkah mereka.

Dan tidak sampai disitu saja. Dari beberapa blog traveling yang saya baca sebelum berangkat, Saya sudah aware kalau dibeberapa hotel di New Delhi, bellboy nya rada-rada aneh. Disalah satu or salah dua blog ditulis kalau pelayan dibeberapa hotel kadang tanpa permisi langsung masuk ke dalam kamar ketika mereka membutuhkan sesuatu (ngambil piring kotor misalnya) atau tamu yang membutuhkan bantuan mereka. Walaupun tamu hotel membukakan pintu dan berencana untuk berbicara didepan pintu saja, seringnya mereka masuk tanpa ba-bi-bu. Ini juga terjadi pada kami selama tinggal disalah satu hotel di New Delhi. Kami masih memaklumi ketika bellboy yang membantu kami mengangkat koper-koper sampai dikamar setelah check in selesai masuk kekamar dan menunjukkan semua fasilitas yang ada dikamar berikut cara menggunakannya (kali saja tamunya dari gunung kan ,LOL). Tapi ketika semua orang dengan segala macam profesi dihotel ini masuk tanpa permisi, hufftt, benar-benar mau meledak rasanya. Saya yang berjilbab jadi betul-betul ketakutan untuk tidak berjilbab dalam kamar. At the very least, saya mesti menaruh jilbab dalam jangkauan tangan supaya bisa langsung memakainya ketika si bellboy atau pelayan tiba-tiba nyelonong. Pernah sekali waktu, saya mesti berdiam diri dibawah duvet, karena saya tidak menyangka akan ada peristiwa ini lagi, selama kira-kira 6-8 menit saat pelayan yang biasanya membawakan sarapan (kitchen staff kayanya) langsung masuk kekamar padahal teman saya sudah berusaha “menahan” si pelayan dan hanya berbicara didepan pintu kamar. Untungnya saat itu sepertinya India lagi musim dingin, jadi berdiam diri dibawah duvet sebegitu lama tidak terlalu bikin makan hati dan bermandi keringat. Mereka kurang mengerti dengan private space, adat istiadat melayani tamu hotel, atau memang sudah “umumnya” begitu dinegeri sana. You better visit and experience it yourselves, if you curious about it. I do not know and will not know the answers,  because I am not going to anywhere in India for the second time. Titik.

Friday, 9 December 2011

INDIA for the 1st and hopefully for the LAST time


Negara tujuan pertama dalam liburan sebenarnya Vietnam, however, I dont know why, saya merasa mesti tulis hal-hal soal India dulu. Mungkin karena banyak hal yang tertinggal dalam memori soal India dan orang-orangnya dibanding negara lain yang ada dalam daftar kunjungan (bahasanya dah kaya diplomat kelas teri gini). Jangan mengangguk setuju atau bahagia dulu yah bagi yang begitu suka sama India (termasuk Siska, sohib yang menggeret diriku ke India hehehe). Yang tertinggal dalam memoriku itu justru banyakan hal negatif soalnya. Kalau kelamaan, bisa-bisa hilang semua yang dalam otak nih J. Jadi harus cepat-cepat dishare, supaya berguna buat orang lain (halaah, sok baik).

Untuk warga Indonesia, mulai tahun ini (atau tahun lalu, I’m not sure) VISA ON ARRIVAL bisa didapat dari 2 airport di 2 kota besar, yaitu New Delhi dan Mumbai. Berhubung tujuan utama ke India adalah melihat Taj mahal yang memang lebih mudah dijangkau dari New Delhi, maka paslah rencana kami berdua; masuk India dari New Delhi. Since this would be the very first time we apply for VOA, agak takut-takut gitu. Apakah berbelit-belit dan melibatkan birokrasi yang panjangnya melebihi ular naga panjangnya, apakah nantinya dimintain duit berlebih, pokoknya banyak tanya dalam otak. Kalau punya lebih banyak waktu sih, inginnya apply visa di Indian embassy saja di Jakarta. Eitss, tidak ding, becanda. Lebih malas lagi kalau mesti urus apa-apa di Jakarta, soalnya saya dan teman tinggalnya diluar Jakarta. Lagipula, birokrasi kita kan terkenal juga berbelit-belitnya. Memang sih itu Indian embassy, tapi saya yakin yang kerja disana juga banyak orang Indonesia. Jadi kepesimisan untuk dapat visa India in the right time with the RIGHT PRICE sangat besar hehehe. The final decision was to apply for VOA. Saking takutnya tidak bakal dapat VOA itu (maklumlah belum pernah tau VOA itu bagaimana), saya dah tanya-tanya ke teman jalan, kalau worst come to worst situation kami tidak dapat VOA, kami mesti gimana atau lebih tepatnya mau kemana. Kami akhirnya berkeputusan untuk balik ke Vietnam J (in a case of an emergency) sampai saat untuk ke Singapore berdasarkan jadwal kita, tiba.

Pas check in time tiba, ketakutan kami makin membumbung tinggi (asap kali yak). Petugas check in langsung tanya soal visa. Saat kami jawab kami mau apply VOA, si petugas malah bingung dan tidak yakin kalau Indonesian bisa apply VOA. Dengan bahasa melayu (kami check in di bandara LCCT KL, red) yang notabene kami bisa mengerti sedikit banyak, si petugas bertanya soal VOA India buat warga Indonesia ke petugas dicounter sebelah. FYI sodara-sodara, jauh sebelum giliran kami check in tiba, si petugas (cewe) sama petugas counter sebelah (cowo) itu, lagi asoy geboy flirting-flirting tidak jelas hehehe. Sesekali mereka saling ejek atau bertanya satu sama lain dibarengi muka yang bersemu-semu merah ungu biru tidak jelas hahaha...loh kok malah ngegosip sih *gelenggelengkepalasupayabalikkecerita*. Yang menjengkelkan lagi, mereka tetap asik sibuk sayang-sayangan dengan kata-kata, PUBLICLY!!!!, saat kami belum jelas nasibnya gimana (lebaynya J emangnya TKI hehehe). Alhamdulillah beberapa saat kemudian, si petugas memberitahukan kalau ternyata Indonesian bisa langsung apply VOA saja dengan beberapa syarat, yang diantaranya: memperlihatkan uang at least US$100 untuk biaya hidup selama di India, fotokopi booking kamar dihotel, fotokopi tiket keluar dari India dan mengisi form VOA. Entah kenapa, flight KL-New Delhi ini proses check in nya makan waktu a lot longer than other destinations (hasil pengamatan beberapa counter check in disekitar). Kemungkinan paling besar adalah karena banyak calon penumpang yang kelebihan bagasi dan mesti urus ini itu, negosiasi dan lain lain. Saat kami check in saja, at least ada 8 penumpang yang bawa TV baru dengan ukuran yang jumbo. Mereka beli flat screen TV di KL trus bawa ke New Delhi? Memangnya jauh beda yah harganya, mungkin iya, apalagi alasan lainnya coba (begonya....bertanya terus jawab sendiri xixixi). Setelah fotokopi ini itu diserahkan yang kemudian diikuti dengan wanti-wanti dari si petugas yang lagi GATAL, akhirnya kami bisa check in.

Penerbangan KL-New Delhi makan waktu kira-kira 5,5 jam. Jauh juga ternyata, saya kira 3 jam pasti dah sampai. Maklumlah agak buta-buta dengan peta dan geografi, apalagi kalo lihat peta buta, halaah, malah tidak jelas gini J Saat tiba di bandara Indira gandhi, alhamdulillah proses apply VOA lancar-lancar saja. Petugas imigrasinya cuma 1, dan alhamdulillah kedua karena si bapak secara fisik tidak menakutkan seperti gambaran yang ada diotak saya J, si bapak petugasnya adalah orang tua botak yang ramah tapi sekali-sekali bersarkasme ria J.

Saat yang mendebarkan berikutnya tiba. Kami mesti cari taksi tanpa kena tipu untuk ke hotel. Dari pintu keluar, kelihatan beberapa taksi-taksi “cakep” nangkring. Tapi menurut tips dapat dari internet, taksi-taksi cakep ini biasanya tidak memakai argometer, jadi mesti nawar ke sopir, kalopun ada yang pakai argometernya, biasanya dah “diset” duluan, jadi ongkos yang kita bayar bakal berkali-kali lipat dibanding dengan ongkos sebenarnya. Daripada kehilangan duit banyak buat naikin yang “cakep”, kami memilih untuk mencari taksi prepaid yang dikelola oleh kepolisian setempat. Lumayan kecewa pas liat bagaimana sih bentuk mobil taksi prepaid ini, mirip mobil-mobil difilm bollywood jadulJ but anyhey tidak apa-apa deh, asal tidak jalan kaki. Ternyata keterpanaan saya soal India dan isinya tidak berujung disitu (tali kali).

Naik taksi yang berada dibawah manajemen polisi mereka, laju taksinya tidak terbayangkan sebelumnya. Serasa lagi syuting film fast and furious dengan banyak perbedaan, pemain dan mobilnya jauh beda hahaha....hmmm, yang mirip kayanya malah cuma kecepatan mobil itu sendiri. Seriously, saya belum pernah naik kendaraan yang kecepatannya entah berapa (tidak ada speedometernya bow), tapi dah berhasil bikin saya jadi ingat wajah bapak dan ibu dirumah. Siska berargumen, gimana si sopir tahu dianya mengemudi dengan kecepatan normal apa tidak, nah speedometer saja tidak ada tuh. Kalo menurut saya sih, memang dia sengaja selaju itu, karena ingin cepat-cepat balik lagi ke bandara dan dapat penumpang lagi. Saya agak maklum sih, si sopir cari duit kan. Tapi pak sopir, sumpah setengah hidup, waktu itu saya jadi ingin teriak ditelingamu, pak slow down a bit, saya belum menikah so I don’t wanna die here and now J.

Banyak tipu-tipu gitu di India, so beware sodara-sodara (ah berasa kaya jualan aja)!!! Mesti rela nambah 1-2 kerutan (bahkan lebih!!!) diwajah karena kelamaan pasang muka jutek nan sadis (dalam hal nawar) ke penjual pada saat nawar-nawar jualan mereka. Kadang tidak tega sih kalau lihat wajah mereka nawarin dagangannya dengan kata-kata manis kalau dagangan mereka lebih murah dibanding tempat lainnya dan kebetulan kami ingin beli karena memang perlu dengan barang yang ditawarkan, tapi suka sebal kalau ingat kalo mereka suka banget pasang harga berkali-kali lipat dari harga normal (seperti kata-kata orang yang pernah ke India di blog mereka). Wajar sih kalau pasang harga 50% diatas harga normal, nah kalo sudah 300%-400% dari harga normal, ini sih bukan jualan, tapi nipu.

Di New Delhi ini, pedagang keliling dan pengemis yang kegigihan dan kesabarannya yang patut saya lemparkan sepatu J saking sebalnya saya sama kelakuan mereka. Saya yang berasal dari kota kecil di timur Indonesia ini shock bin kaget dengan gigihnya pengemis minta duit dikota besar India ini. Bayangkan, mereka bisa berada didepanmu atau mobilmu (kalo naik mobil) itu berpuluh-puluh menit. Kalau lampu merahnya cepat berubah hijau, selamatlah kau ujang J, otherwise, kalo dah bosan dengan wajah atau bau mereka, yah mesti beri duit. Yang menggemaskan lagi, pernah 1x disaat kami singgah buat foto depan Red fort di Agra, kami dikerubuti sekitar 3-4 orang pengemis, yang salah satunya bapak tua. Saya sebenarnya ingin sekali melihat dan foto-foto benteng ini dari dekat, berhubung ternyata orang (pengunjung ataupun orang lokal dengan segala profesi) masih bejibun, keinginan itu langsung sirna bagai ditelan bumi J. Anyway, kembali ke pengemis-pengemis tadi, Siska akhirnya bagi-bagi duit 10 rupee. Duit “kecil” dah habis, eh si bapak pengemis yang belum kebagian. Saya Cuma punya duit pecahan 500, yang kalau ditukar kerupiah jadi sekitar Rp100.000, akhirnya kami bertanya ke sopir. Raju Cuma punya koin 5 rupee, dan siska tidak punya pilihan selain berikan duit 5 rupee itu and guess what...si bapak pengemis tidak mau terima duit dalam bentuk koin. Ckckck, speechless untuk kesekian puluh kalinya hahaha...saya lupa bagaimana pemecahan masalah “bagi-bagi duit” itu akhirnya.

On the way to Agra untuk melihat Taj Mahal, kami masuk diresto yang lumayan (lumayan versi orang lokal sih, well at least menurut Raju, menurutku sama saja dengan resto standar di Indonesia, dari segi pelayanan dan kebersihan), kami melihat adanya pelayanan berbeda antara wisatawan dan yang berseragam sopir (biru muda). Diawal, kami hanya agak bingung, what take him (Raju) so long to come and sit with us. Jangan-jangan Raju parkir mobil di New Delhi nih J Perut dah lumayan kencang dangdutannya masih harus nunggu lagi. Pelayan yang melayani kami tidak mengatakan langsung pada kami padahal dia bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris kepada kami soal ini. Tiba-tiba Raju duduk dan bilang ke kami dia tidak bisa makan semeja bersama kami, karena resto itu punya tempat khusus buat sopir. Di jaman sudah semaju gini, mereka masih memperlakukan orang berbeda berdasarkan jenis pekerjaan atau kasta? Hmmm, cuma bisa speechless (LAGI) hahaha.... tapi tenang sodara-sodara, it was a happy ending (mang film bollywood aja yang bisa ada happy endingnya). Dengan ancaman kalau kami bakal batal makan direstonya kalau mesti berbeda meja dengan Raju, akhirnya si pelayan memperbolehkan Raju makan semeja dengan kami. Entahlah kami dapat kutukan, makian, atau cacian dalam hati si pelayan karena telah melanggar aturan ini, yang jelas saya merasa seperti pahlawan kesiangan buat Raju hahaha.... and that was not it, si pelayan yang dah terima duit dari raju untuk bayar makannya, tanpa perasaan dan berkata apa-apa menerima pembayaran makan kami termasuk untuk bayar makanan Raju. Untung siska dah mencium gelagat yang tidak beres (halah, bahasa apa toh bu, bu J). Akhirnya cross check ke Raju berbuah hasil: si pelayan memang dah dapat bayaran dobel untuk bayaran makanan Raju, dari Siska dan Raju sendiri. Asem, asem, bisa-bisa kerutanku nambah pol kalo lama-lama di India ini J

Sunday, 31 July 2011

ME FINALLY MISSING YOU


I was questioned by few people includinf my academic supervisors few days before I fly out of New Zealand...and the  question was:
What will you miss the most from New Zealand....
Hmmm, to be honest, so many things and people I will miss L
I do not like big cities. Crowd of people often freak the hell out of me. I am a loner J Therefore, New Zealand is just a piece of heaven for me.
I felt so secure even though I need to walk from my (I mean the) campus to my place in the middle of the night. Stepping my feet to the land that I missed so much now, I need to set my alarm high.
I felt I was so welcomed as many strangers who usually elders greeted me when walking pass by me.
Public and free toilets are scattered all over of most cities or town that I have been to. Unlike the toilets reality in most places in Indonesia. If there is one proper and clean toilet, then be prepare to pay, LOL.
The ease of finding internet connection was a great experience for me. I became so much more independent with the help of internet J I could arrange my trips to places that I want to visit after googling the places. Culinary trip to a restaurant was usually planned after googling what I want to eat at what time. However, the temptation to buy things online was rocketed too, thanks to the internet, LOL.

Thursday, 26 May 2011

Travelling Tips

Well, this is true tips actually, but I cant help myself to laugh at it.
Strictly for a very LIGHT & SCRUFFY traveller
Do you really need to wash every pair of undies after you have worn them once? Backwards, inside out, backwards inside out are all ACCEPTABLE (*cannot imagine*) options. Once you think you need to wash them (*after wearing the same undies for a week with this tips:P) take them with you to the bath/shower/ocean xixixixi*depending on the bathing option you have selected*and give them a QUICK RINSE, LOL. You can hang them on your backpack or car window for drying hahahaha..

Sunday, 8 May 2011

TOILET OH TOILET

Teringat lagi pengalaman pahit pas kuliah S1 dulu. Pengalamannya berkaitan dengan toilet. Selama hampir 5 tahun kuliah (uppsss, ketahuan deh begonyaJ), tidak pernah sekalipun menemukan toilet yang normal disekitaran kampus. Dari gedung buat mahasiswa sampai gedung buat staff dan pengajar semuanya toiletnya pada abnormal. Mostly it doesnt provide water, sigh. Bagaimana mau memakainya coba. I think I have tortured my bladder ever since, boooo. Terakhir mesti ke toilet itu sekitar 2 tahun setelah lulus dari kampus itu, kondisinya masih sama, waterlessssss hikkksss.
Nah pas kuliah S2, alhamdulillah tidak mengalami hal yang sama. Di New Zealand toilet umum dimana-mana, bersih sih sih dan gratiss tis tis. Dikampus-kampus apa lagi. Toiletnya berhamburan (hiperbola yahJ memangnya bintang, berhamburan). Ditiap lantai gedung-gedung kampus, toilet pasti ada. Cuma yah itu lagi, toiletnya toilet kering, alias bersih-bersihnya pakai tisu L awalnya jijik sekali, sampai-sampai kalau lupa buat bawa botol bekas buat nampung air buat bersih-bersih, saya memilih untuk tahan “panggilan alam” sampai tiba dirumah. I know, its not good for my health, I know. Anyway, it happened, no time for looking back, kabuuurrrr J. Kalau dipikir-pikir, tidak bersih-bersih amat sih toilet disini, soalnya didindingnya sering ada yang nulis curhatannya, jadi kaya diari deh tu dinding. Ada yang curhat dah diperkosa (diperkosa atau diperkosa???), ada yang minta tolong disembuhin dari penyakit, dsb.
Tapi yang ironisnya ketemu sama the smellies toilet in the world (like I have been all over the worldJ) ini pas di New Zealand juga, tepatnya disekitaran track untuk melintasi Tongariro, sebuah gunung di Taupo, kota kecil sekitar 5 jam mengemudi dari Wellington, ibukota negara. Jadi disekitaran track hiking sepanjang 19,5km ini disediakan beberapa toilet. Setelah sekitar 2 jam jalan, ketemulah dengan toilet darurat pertama. Nah berhubung daerah pegunungan dan lintasan yang panjang, toiletnya cuma seadanya saja. Ruangannya cuma seukuran boks telpon umum, lebih besar dikit sih, menyediakan toilet duduk dan tisu saja, tanpa wastafel apalagi air. Toiletnya tanpa flush pula, yaiikkssss. Jadi cuma seperti lubang yang dipasangi toilet duduk. Kebetulan Rasa “itu” sudah menghantui sejak sejam setelah start, tapi pas berdiri antri depan toilet yang menebarkan bau yang betul-betul bikin stress, rasa “itu” seakan menghilang, lenyap tak berbekas. Saya berkeputusan untuk menyiksa kantong kemih dibanding mesti pakai toilet itu. Lihat deh foto orang yang lagi antri buat pakai tu toilet, dan saya yang berdiri agak jauh karena menunggu “crossing buddies” yang lagi antri.
Setelah jalan lagi selama hampir 2 jam, tibalah kami (saya & 8 orang teman) ditempat istirahat, yang disebut hutt apa begitu. Jadi ini semacam rumah yang menyediakan toilet ataupun tempat duduk buat sekedar melepas lelah sebelum melanjutkan crossing lagi. Pikir saya mungkin toiletnya berbeda, karena ini kan ada bangunannya, jadi mungkin juga toiletnya menyediakan wastafel dan air. Antrilah diriku dengan harap-harap cemas, berharap “keajaiban itu adaJ. Berdiri depan salah satu toilet, terbukalah pintunya dannnn…eng ing eng…baunya dah menonjok indera penciuman. Serasa mau muntah, padahal perut juga lagi lumayan kosong. Mau masuk, baunya nda nahan, tidak masuk, rasa itu tidak tertahan lagi, belum lagi antrian dibelakang saya dah panjang juga, akhirnya dengan berat hati dan doa semoga tidak pingsan didalam, saya pun memutuskan untuk pakai tu toilet. Ternyata toiletnya sama saja bentuknya, baunya dengan yang saya singgahi sebelumnya, alamaaakkk……salah satu pengalaman tak terlupakan selama disini….

Friday, 6 May 2011